Harianutama.id, Samarinda – Perubahan syarat usia minimal untuk calon gubernur dan wakil gubernur yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung (MA) telah menimbulkan perdebatan di kalangan pejabat setempat, termasuk Anggota Komisi I DPRD Samarinda, Abdul Khairin.
Abdul Khairin mengkritik keputusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diumumkan pada 29 Mei 2024, menyatakan bahwa hal tersebut menunjukkan kerentanan sistem hukum di Indonesia dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila.
Menurut keputusan tersebut, batas usia yang sebelumnya ditetapkan pada 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon wali kota atau bupati pada saat pencalonan, kini berubah menjadi berlaku pada saat pelantikan.
Perubahan ini berdasarkan revisi yang diminta oleh MA terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020.
“Kita menyaksikan dinamika politik yang kompleks. Dari sudut pandang seorang politisi, saya melihat ini sebagai bukti bahwa hukum kita dapat dengan mudah diubah. Ini adalah realitas yang harus dihadapi oleh masyarakat,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya memiliki batas usia yang matang untuk calon pemimpin, karena memerlukan kedewasaan psikologis untuk mengelola komunitas yang luas.
“Kepemimpinan atas area yang luas membutuhkan kedewasaan psikologis yang signifikan, dan oleh karena itu, perubahan ini sangatlah mengkhawatirkan,” tambahnya.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menyinggung tentang bagaimana keputusan ini dapat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Khairin menegaskan bahwa jika para pemimpin benar-benar memahami dan mengamalkan nilai-nilai dasar negara, maka situasi seperti ini tidak akan terjadi.
“Berpegang pada sila pertama, jika pemimpin benar-benar takut kepada Tuhan, maka tidak akan ada tindakan yang zalim. Sila kedua menuntut kita untuk menjaga etika, bahkan dalam situasi politik,” katanya.
Khairin berpendapat bahwa ini akan mempengaruhi sila Ketiga, yaitu persatuan Indonesia, yang dapat terpecah. Selanjutnya, sila Keempat yang berbicara tentang demokrasi yang dipimpin dengan kebijaksanaan dalam perundingan, memerlukan parlemen yang benar-benar mewakili rakyat.
“Namun, fungsi ini sering kali tidak terlaksana dengan baik, memungkinkan pemerintah untuk mengubah undang-undang sesuai keinginan mereka. Ini pada akhirnya berdampak pada sila Kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang menjadi sulit untuk dicapai,” tutupnya. (Yah/Adv/DPRDSamarinda)